Penduduk asli Nagari Batu Taba dahulunya berasal dari Padang Luar yaitu suatu daerah yang berada di Kaki Bukit Batu Basi yang nama Tarataknya ( dusunya ) bernama Tandau. Mata pencaharian masyarakat di Tandau tersebut adalah dengan bercocok tanam di sawah sambil berladang di kaki bukit.
Daerah Tandau Tersebut adalah daerah yang gersang dan kering sehingga sangat susah airnya serta sulit dijangkau oleh irigasi. Oleh sebab itu masyarakat turun kesawah apabila sudah datang musim hujan . Maka sawah-sawah mereka adalah sawah-sawah tadah hujan.
Di pinggir-pinggir kaki bukit Batu Basi banyak ditumbuhi rumpun-rumpun Batuang( Bambu ) yang besar-besar dengan bambunya yang sangat taba ( Tebal ),sehingga daerah tersebut (Tandau) disebut juga dengan daerah Batuang Taba. Pada saat itu Nagari Batu Taba sekarang ini masih bahagian dari danau singkarak yang dilingkari oleh lingkungan bukit tersebut.
Bukit yang melingkari danau singkarak tersebut di salah satu bagiannya ada yang agak rendah atau tipis,sehingga air danau bisa mengalir melalui bukit tersebut. Bukit yang tipis tersebut bertambah tipis diakibatkan karena aliran batang air Bangkaweh yang terletak antara daerah Jorong Baduih di Simawang dengan Balai Gadang yang sekarang terkenal dengan sebutan Batang Ombilin.
Lantaran dengan keluarnya aliran air dari danau Singkarak yang makin lama makin besar sehingga membuat runtuhnya bukit tempat air mengalir tersebut sehingga terjadilah penyudutan air danau yang sangat drastis.Dan lama kelamaan ,karena air danau sudah semakin susut dan daratan semakin luas,timbulah pemikiran dan keinginan dari Masyarakat Tandau atau Batuang Taba untuk berpindah karena sulitnya kehidupan karena daerah yang mereka tempati adalah daerah yang sangat kering dan sangat susah untuk bertani.
Sehingga timbulah keinginan untuk berpindah untuk mencari daerah baru yang subur serta cocok untuk bertani supaya dapat merubah kehidupan mereka dan bisa membuat mereka lebih makmur tanpa takut kekurangan makanan. Maka sepakatlah masyarakat Tandau
untuk berpindah ke tempat bekas air danau Singkarak yang telah menjadi daratan akibat penyusutan air danau mereka pindah agar jangan timbul hal-hal yang tidak diinginkan seperti pertengkaran dalam memperebutkan lahan, maka dibuatlah beberapa butir kesepakatan oleh masyarakat Tandau dan juga dengan penduduk sekitar Padang Luar. Dalam pertemuan tersebutlah 2 (dua) kesepakatan.
Pertama, penduduk yang ingin pindah tidak boleh melewati tepian yang mana tepian tersebut adalah puncak bukit yang tampak berada disebelah Utara Nagari Batu Taba sekarang. Kedua, penduduk yang ingin pindah harus dengan satu komando dan tidak boleh saling mendahului, kalau ada yang melanggarnya akan diberikan sanksi. Maka dibuatlah suatu api unggun yang sangat besar di puncak Bukit Kampai yang berada di atas Nagari Batu Taba sekarang. Masyarakat yang ingin pindah berbaris disepanjang lereng bukit tersebut. Apabila masih kelihatan nyala api di puncak Bukit Kampai, belum ada yang boleh turun sehingga dikenal dengan istilah :
Kalau tacelak api di kampai
Sangguliang ja’an ditingggakan
(Kalau masih nampak api di Kampai)
(tempat akan turun jangan ditinggalkan)
Setelah api padam di puncak Bukit Kampai, barulah mereka berebutan untuk turun dan mencari lahan yang baik untuk dijadikan sawah dan ladang. Kemudian mereka yang berpindah mulai menetap pada jorok jorok dan tanjung tanjung yang tidak digenangi air lagi.
Karena lama kelamaan air danau terus menyusut dan daratan bertambah luas, serta dengan bertambahnya pengetahuan mereka tentang bertani bahwa tanah dapat dikerjakan berulang kali tanpa kehilangan kesuburannya, maka masyarakat mulai manaruko (membuat sawah). Mereka mulai bercocok tanam di sawah – sawah mereka sambil mengerjakan ladang di atas bukit serta beternak dan mulai membangun rumah yang permanen, bahkan sudah ada yang mulai membuat rumah bagonjong walaupun baru “bagonjong tigo” atau “gonjong duo”. Perkampungan pada tahap ini disebut dengan Koto,
diantaranya ada yang bernama Bancah, Koto Lansano, Guguak Batu, Guguak Cacang, Bukik Gadang, Guguak Katiak, Guguak Lako dan sebelah barat bernama Bukik Kubang Sirauik yang sebagiannya telah lebih dahulu dihuni oleh orang Tanjung Barulak.
Pada masa itu, masyarakat masih hidup berhinduk hinduk (serumpun) dan berkelompok-kelompok. Dalam keadaan hidup yang demikian dan juga karena lama kelamaan “manusia batambah kambang dan daratan batambah luas” serta bertambahnya pendatang pendatang baru, munculah keinginan dari pemuka masyarakat untuk hidup beradat istiadat di dalam sebuah nagari.
Di sebuah puncak bukit yang bernama Koto diadakanlah pertemuan untuk membicarakan penggabungan koto – koto yang telah ada menjadi sebuah nagari yang independen. Namun sebelum nagari dibentuk dan diberi nama, masyarakat harus memenuhi beberapa buah persyaratan dan yang paling utama adalah masyarakat harus membuat 4 (empat) buah suku karena sebuah pemukiman baru boleh disebut nagari apabila penduduk pemikiman tersebut sudah tersusun sekurang kurangnya 4 buah kelompok suku dan diikuti dengan syarat yang lainnya yaitu :
- Babalerong
- Bamusajik
- Pamedanan
- Balabuah Batapian
Maka mulailah pemuka pemuka masyarakat berusaha menyusun pesukuan disetiap kelompok. Masing-masing suku tidak hanya terdiri dari satu induk (ibu) satu nenek saja tetapi juga berasal dari keturunan nenek yang lain, namun sukunya sama atau sukunya masih serumpun. Akhirnya terbentuklah 4 (empat) buah suku yaitu, Suku Tanjung, Suku Payobada, Suku Guci dan Suku Pinyalai.
Di Nagari Batuang Taba tersebut banyak terdapat batu batu yang besar besar dan tebal tebal namun mudah untuk di pecahkan tetapi tidak berguna bagi masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda, batu batu tersebutsangat berguna bagi Belanda untuk jalan kereta api. Batu – batu tersebut dipecahkan oleh Belanda supaya menjadi batu batu yang kecil (kerekel).
Di sana juga dibangun oleh Belanda tempat pemuatan kerekel tersebut untuk di angkut dan disebar sepanjang jalur kereta api yang ada di Sumatera Barat. Pada zaman penjajahan Belanda, namun Nagari Batuang Taba berbah menjadi Batu Taba karena di Nagari tersebut banyak terdapat batu yang besar besar dan tebal tebal, dan juga karena Batu Taba lebih mudah dan lancar dalam sebutan tata bahasa penyebutannya dibandingkan dengan Batuang Taba.